mengenal kerajaan Sunda
KERAJAAN SUNDA
Photo shiva mahadeva cicalengka bandung perkiraan abad 8-9 Masehi
Sumber. photo
Kerajaan SUNDA
Didirikan oleh TARUMANEGARA Pusat pemerintahan di Pakuan Pajajaran, Kawali / Galuh dan Pernah juga di Saunggalah / Kuningan.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda dan Sansekerta
Agama yang dianut oleh Raja dan masyarakat kerajaan Sunda adalah Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan.
Perkiraan didirikan tahun 932 M berdasarkan
( prasasti kebon kopi II).
Wilayah kerajaan Bersatu Sunda Galuh
Sumberpeta
Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi yang memerintah hanya selama tiga tahun, 666–669 M
Menikah dengan Dewi Ganggasari dari Indraprahasta dan memiliki dua anak perempuan yang pertama bernama
Dewi Manasih dan yang kedua Sobakancana.
Situs Batu Jaya
Sumber. candi blandongan, karawang
Selanjutnya
Dewi Manasih menikah dengan Trarusbawa dari Sunda dan anak kedua Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal kekuasaan Tarumanagara di terus oleh Trarusbawa menantu beliau.
Hal inilah yang menyebabkan penguasa Kerajaan Galuh, Wretikandayun (612–702) memberontak dan melepaskan diri dari Tarumanagara dan selanjutnya mendirikan Kerajaan Galuh.
Trarusbawa kemudian memindahkan Pusat kerjaan Tarumanagara ke Sunda yang posisinya di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar.
( sekarang di dekat bogor)
Posisi kerjaan Tarumanagara kemudian diubah menjadi bawahannya.
Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M).
Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Putera Trarusbawa yang terbesar Rarkyan Sundasambawa wafat saat masih muda meninggalkan seorang anak perempuan
Nay Sekarkancana.
Cucu Trarusbawa ini kemudian dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Kerajaan GALUH yang mempunyai seorang putera RahyangTamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Trarusbawa.
Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Trarusbawa.
Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Trarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Trarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Trarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan).
Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732–754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya;
Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga atau
(Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739–766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766–783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783–795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya,
Rakryan Diwus
(dengan gelar Prabu PucukbhumiDharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795–819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806–813).
Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia.
Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973).
Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ke puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019).
Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154).
Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma
(1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297).
Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303).
Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350).
Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat.
Karena saat kejadian di Bubat, putranya — Niskalawastukancana — masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati,
ia mempunyai putera Sang Haliwungan
(Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh
(1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.
Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu Déwatabuanawisésa
(1535-1543),
Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567),
Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579).
Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh s/d Pajajaran
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta
(waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1.Tarusbawa
(menantu Linggawarman, 669 – 723)
2. Harisdarma / Sanjaya
(menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
(766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi
(menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara
(menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon
(819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa
(adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri
(menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana
(putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati
(Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja
(Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi
(Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur
(1155 – 1157)
24. Darmakusuma
(Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu
(1175 – 1297)
26. Ragasuci
(Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda
(Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa
(1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa
(yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata
(Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Tentang waktu kerajaan sebelum dan sesudah kerajaan SUNDA GALUH
Hubungan dengan kerajaan lain
Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka),
kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda.
Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.
Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis.
Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa.
Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Sumber. sejarah kerajaan Sunda Wikipedia
Komentar
Posting Komentar